Sebuah perjalanan membawa dua orang sahabat hingga ke tepian sungai venessia di italia. Setelah mengunjungi beberapa tempat wisata keduanya ingin melepaskan lelah dan kepenatan, mengunjungi sebuah kafe untuk minum secangkir kopi, suatu yang tidak boleh dilewatkanjika berkunjung ke italia. Setelah memilih salah satu sudut yang nyaman untuk melepas kepenatan hari itu, keduanya memesan secangkir kopi ekspresso sambil mengamati para pengunjung local yang datang ke tempat tersebut.
Selang beberapa waktu seorang laki-laki masuk untuk memesan
koppinya, Uno c
afé, uno suspeso satu kopi, satu digantung, demikian ucapnya.
Lalu bartender menyerahkan secangkir kopi padanya dan menggantung secarik
kertas di dinding. Laki-laki itu menghabiskan secangkir kopi yang dipesannya
namun membayar dua cangkir kopi kepada bartender. Dengan santai ia meninggalkan
kafe itu. Pemandangan ini mengundang perhatian dua orang sahabat yang sedang
duduk dipojokan yang meyaksikan kejadian itu. Tidak beberapa lama kemudian dua
orang pengunjung lain datang, menyebutkan pesanannya: duo café, uno suspeso-
dua cangkir kopi, satu digantung. Bartender kembali menyiapkan pesanan mereka,
menyodorkan dua cangkir kopi dan menggantung secarik kertas di dinding. Kedua orang
tadi menghabiskan dua cangkir pesanannya, namun membayar tiga cangkir kopi dan
meninggalkan kafe itu.
Pemandangan menarik ini semakin mengundang rasa penasaran
dalam hati keduanya. Lebih heran lagi ketika mereka dikagetkan oleh kehadiran
pengunjung selanjutnya. Seorang lelaki berpakaian kumal dan lusuh, dengan suara
berat mengucapkan pesanannya : “uno suspeso – satu yang digantung”, maka dengan
cekatan sang bartender mulai meracik secangkir kopi, meyajikannya bagi sang
tamu. Yang menarik, si tamu mengirup dan menikmati kopinya lalu pergi berlalu
tanpa membayar sepeser pun. Selepas kepergian tamu tersebut, bartender menarik
salah satu potongan-potongan kertas yang digantungnya di dinding tadi, merobeknya
kemudian melemparkan ke kotak sampah dimana disana ternyata sudah bertumpuk
robekan-robekan kertas serupa. Pemandangan serupa terus berlanjut sepanjang
hari, kadang ada yang datang memesan kopi dan membayar lebih dari yang
diminumnya namun adapula tamu-tamu yang datang dan menikmati secangkir kopi
tanpa membayar sedikitpun.
Lama kelamaan pahamlah kedua sahabat tadi bahwa dimanapun
diseluruh dunia ini selalu ada makanan dan minuman yang sesungguhnya bukanlah
suatu kemewahan namun mungkin bagi sebagian orang menjadi barang mewah yang
tidak mampu mereka beli. Permasalahannya makanan atau minuman itu adalah
sesuatu yang sangat penting dan berarti bagi masyarakat dalam kultur tersebut. Sepiring
gudeg bagi orang jogja, semangkuk coto Makassar bagi orang Makassar, sepotong
pempek kapal selam bagi masyarakat Palembang adalah hidangan sehari-hari yang
tak mungkin bisa lepas dari keseharian mereka. Bahkan budaya menikmati
secangkir the mengantarkan masyarakat jepang pada seremoni yang begitu panjang.
Begitupun secangkir kopi atau cappuccino bagi masyarakat italia adalah
pelambang budaya yang sangat lekat dengan mereka serupa dengan budaya minum
kopi bagi masyarakat aceh atau orang manggar di Belitung. Begitu pentingnya
kopi bagi mereka hingga bagi sebagian
besar masyarakatnya tiada hari yang akan mereka lewati tanpa secangkir kopi. Namun
tak bisa dipungkiri dimasa ini dimana ketimpangan social begitu terasa
sehingga, jangan harap mereka bisa membeli kemewahan dalam secangkir kopi yang
bagi sebagian masyarakat lainnya hanya setara dengan uang receh yang ada di
dompet tebal mereka. Akhirnya menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis disana
agar orang-orang tak berpunya bisa menikmati secangkir kopinya maka sebagian
orang lain yang memiliki kelapangan rezeki akan membayar satu atau dua cangkir
setiap mereka menikmati kopinya hari itu. Satu komponen yang tak bisa dilupakan adalah peran
bartender yang membuat ‘sistem trasnparan’ tentang berapa banyak kopi yang akan
dibagikan secara gratis hari itu dengan menggantung kertas-kertas bergambar secangkir kopi di dinding agar ‘para
peminta’ kopi tak harus berpayah-payah memohon atau meminta haknya. Tak membuat
mereka merasa menjadi seorang pengemis atau peminta-minta. Tanpa bertanya ia
bisa segera tahu apakah masih ada tersisa kopi yang bisa dinikmatinya secara
gratis hari itu, dan siapapun akan bisa dengan lankah tanpa beban masuk ke kafe
untuk memesan secangki kopi tanpa harus
khawatir apakah ia akan mampu membayarnya atau tidak. Merasakan nyamannya masuk
ke sebuah restaurant, meminta pesanannya dan dilayani layaknya orang-orang
berada. Sebenarnya inilah unsure terpenting dalam konsep berbagi bagi sesame,
dimana kita benar-benar memanusiakan orang yang akan menerima bantuan ataupun
sedekah dari kita.
Setiap tahun kita disuguhi pemandangan pedih saat menjelang
hari raya dimana sebagian orang kaya akan membagikan kupon pada ratusan orang
miskin yang mengharuskan mereka berbaris berdesak-desakan, berpeluh menunggu
berjam-jam dibawah terik mentari, kadang terhimpit dan terjatuh di dorong-dorong
untuk mendapatkan selembar amplop berisi selembar dua puluh rupiah, bagian dari
zakatnya. Jika ada acara untuk anak yatim maka kita akan melihat pemandangan
khas barisan panjang mereka mengantri sekotak makanan. Bukankah hidup mereka
sudah cukup perih untuk ditambahi perasaan malu karena harus menengadahkan
tangannya meminta sesuatu yang sebenarnya adalah hak mereka dalam bagian rezeki
milik si berpunya.
Ada sebuah kisah yang sangat masyhur diihwalkan bahwasanya
khalifah umar ra menolak untuk dibantu mengangkat sekarung gandum yang akan
diberikannya pada seorang janda miskin yang terpaksa yang merebus batu untuk
mendiamkan tangisan anak-anaknya yang kelaparan. Pundak sang khalifah menjadi
saksi keteguhan beliau dalam menolong orang yang lemah dengan memberikan
kehormatan tertinggi kepada mereka, justru karena mereka patut mendapatkannya
ketika menerima bantuan, bahkan sesampainya sang khalifah ditempat keluarga
miskin yang ditolongnya itu, beliau tidak segan-segan turun tangan membantu
menyajikan gandum itu dan menghidangkannya pada anak-anak yatim miskin
tersebut. Karena sesungguhnya harga diri itu ada pada semua orang, maka bisa
jadi orang miskin yang akan kita bantu merasa berat hatinya dengan cara yang
kita pilih saat menolong mereka. Untuk itu memuliakan mereka saat member bantuan,
memilih cara yang sesuai adab dan membuat mereka tidak terpaksa harus mengemis
pada sesuatu yang memang menjadi haknya adalah sebuah adab yang harus kita
lakukan karena termasuk hal-hal yang disunnahkan oleh rasululllah saw.
Sumber : Astri katrini alafta (Majalah mata air edisi 1)
0 komentar
Post a Comment